BAB II
PERILAKU KEWIRAUSAHAAN
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari perilaku kewirausahaan ini diharapkan:
1. Mempunyai pemahaman mengenai Perilaku Kewirausahaan
2. Mempunyai pemahaman mengenai Syarat-Syarat dan Ciri-Ciri Seorang Wirausaha yang Sukses sehingga kelak akan bisa menjadi pengusaha yang sukses
3. Mempunyai wawasan mengenai kecerdasan spiritual, emosional, intelektual dan adversity dan bagaimana bisa mencapai kecerdasan-kecerdasan tersebut.
B. POKOK BAHASAN
1. Definisi Perilaku Kewirausahaan
Sikap dan perilaku merupakan kesatuan sifat seseorang yang terbentuk karena kebiasaan sehari-hari. Perilaku kewirausahaan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor itu adalah hak kepemilikan (property right, PR), kemampuan/ kompetensi (competency/ability, C), dan insentif (incentive), sedangkan faktor eksternalnya meliputi lingkungan (environment, E). Dengan demikian Sikap dan perilaku dapat dirubah oleh diri sendiri dan atau oleh adanya tekanan/pengaruh lingkungan. Adanya pengaruh dari dalam diri sendiri dan dari luar lingkungan bergaul maka tumbuhlah sikap dan perilaku individu yang spesifik.
Sebagai Wirausaha memiliki sikap-sikap dasar yang spesifik. Seorang wirausaha memiliki sikap bertekat bulat ingin berwirausaha. Bukan karena terpaksa. Ia ingin mandiri dan ingin berhasil. Karena ingin berhasil maka ia bersikap positif. Positif terhadap diri sendiri maupun positif terhadap orang lain. Namun dmikian masih ada kemungkinan untuk gagal, tetapi ia tidak gentar. Karena itu ia mau belajar dari pengalaman, termasuk dari kegagalannya. Yang pasti ia berani mandiri dan memimpin.
Bertolak pada adanya sikap dasar tersebut diatas kiranya terbentuknya perilaku wirausaha. Wirausaha memulai usahanya dengan berkomunikasi, dalam rangka mengumpulkan informasi, maupun menjalin relasi. Dalam situasi usaha pasti akan selalu terjadi perubahan. Untuk itu sebagai seorang wirausaha harus memiliki sikap terhadap perubahan, sekalipun Perubahan jarang dapat diterima secara total oleh setiap orang yang terlibat.
Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Sikap dan Perilaku
1. Efisiensi.
Efisiensi dapat dirumuskan sebagai suatu teknik operasional yang berdampak Pada pencapaian tujuan secara optimal dan efektif, sehingga sumber daya, waktu, potensi, dan modal termanfaatkan secara penuh tanpa terbuang. Sejalan dengan itu, suatu manajemen yang sukses dapat diartikan sebagai cara yang tidak saja efektif dalam mencapai tujuan, tetapi juga efisien dalam memanfaatkan sumber daya.
2. Perubahan lingkungan.
Dinamika lingkungan ditunjukkan oleh perubahan yang sedemikian cepat terjadi di segala bidang. Perubahan lingkungan yang relevan dengan manajemen adalah polusi. Polusi lingkungan adalah akibat dari pengeksploitasian sumber daya dan industrialisasi. Banyak ahli Ekologi (Ilmuwan yang mempelajari hubungan manusia dan lingkungannya) melihat kemungkinan kerusakan sumber daya yang tidak dapat tergantikan kembali. Manajer dalam suatu organisasi sebagaimana masyarakat professi dan akademisi saat ini mulai menunjukkan minat terhadap ekologi. Telah disadari bahwa tindakan nyata harus diambil untuk meningkatkan kegiatan pengusaha sehingga mereka tidak menyebabkan perubahan lingkungan yang drastic dan merusak.
3. Perubahan social.
Perubahan dalam masyarakat yang dapat muncul adalah pertumbuhan populasi, perubahan kebutuhan masyarakat dan variasi aspek-aspek pengembangan. Hasilnya, seorang pengusaha harus berubah untuk memuaskan kebutuhan masyarakat.
4. Persaingan.
Persaingan termasuk pada usaha yang menjual produk-produk sejenis dan memberikan layanan yang sama sehingga bersaing untuk mendapatkan pelanggan yang sama. Terlepas dari barang dan jasa yang ditawarkan, Anda akan selalu dihadapkan dengan persaingan, bahkan persaingan terjadi walaupun Anda menawarkan barang atau jasa yang tidak sama dengan pesaing Anda.. Dengan demikian, mengenali pesaingan akan membantu Anda mengerti secara toal lingkungan usaha dimana Anda berusaha. Jika Anda tidak tahu bagaimana pesaing Anda bereaksi terhadap rencana Anda, Anda mungkin menjalankan bisis Anda secara tidak efisien. Persaingan membuat seorang pengusaha meningkatkan kualitas barang dan/atau jasanya secara berkelanjutan. Ini berarti mutu barang/jasa meningkat seiring dengan waktu.
5. Perubahan teknologi.
Teknologi secara berkala berubah sesuai dengan permintaan konsumen. Pengembangan Teknologi baru dilakukan untuk menghasilkan produk atau jasa baru. Pengusaha seharusnya menyadari bahwa pengembangan teknologi baru akan mempengaruhi kegiatan usahanya. Ketergantungan Anda terhadap teknologi ditentukan oleh lingkungan dimana kegiatan usaha Anda beroperasi, dan kesuksesan usaha Anda tergantung pada produk itu sendiri, metode produksi dan strategi pemasarannya. Penerapan teknologi baru juga dipengaruhi oleh sifat dan keagresifan pesaing, ukuran keseluruhan industri dan tingkat pertumbuhan.
6. Perubahan Minat.
Pengusaha menggunakan perilaku mereka untuk mengendalikan situasi. Sikap mental positif membantu untuk tetap focus pada kegiatan yang paling diminati dan hasil yang ingin dicapai. Sebagai tambahan, pengalaman, ketekunan dan kerja keras adalah inti suksesnya seorang pengusaha.
2. Syarat-Syarat dan Ciri-Ciri Seorang Wirausaha yang Sukses
Untuk menjadi seorang wirausahawan, diperlukan dukungan dari orang lain yang berhubungan dengan bisnis yang kita kelola. Seorang wirausaha harus mau menghadapi tantangan dan resiko yang ada. Resiko dijadikan sebagai pemacu untuk maju, dengan adanya resiko, seorang wirausaha akan semakin maju. Menurut Murphy dan Peek yang diterjemahkan dalam bukunya oleh Bukhari Alam, ada delapan anak tangga yang meliputi keberhasilan seorang wirausaha dalam mengembangkan profesinya, yaitu:
a. Kerja keras
Kerja keras merupakan modal keberhasilan seorang wirausaha. Setiap pengusaha yang sukses menempuh kerja keras yang sungguh – sungguh dalam usahanya.
b. Kerjasama dengan orang lain
Kerjasama dengan orang lain dapat diwujudkan dalam lingkungan pergaulan sebagai langkah pertama untuk mengembangkan usaha. SEorang wirausaha harus murah hati, mudah bergaul, ramah dan disenangi masyarakat dan menghindari perbuatan yang merugikan orang lain.
c. Penampilan yang baik
Penampilan yang baik ditekankan pada penampilan perilaku yang jujur dan disiplin
d. Yakin
Seorang wirausaha harus dapat yakin kepada diri sendiri, yaitu keyakinan untuk maju dan dilandasi ketekunan serta kesabaran
e. Pandai membuat keputusan
Seorang wirausaha harus dapat membuat keputusan. Jika dihadapkan pada alternative sulit, dengan cara pertimbangan yang matang, jangan ragu – ragu dalam mengambil keputusan yang baik sesuai dengan keyakinan.
f. Mau menambah Ilmu pengetahuan
Dengan menambah ilmu pengetahuan, terutama di bidang usaha, diharapkan seorang wirausaha dapat mendukung kemampuan dan kemajuan dalam usaha
g. Ambisi untuk maju
Tanpa ambisi yang kuat, seorang wirausaha tidak akan dapat mencapai keberhasilan. Ambisi yang kuat, harus diimbangi dengan usaha yang keras dan disiplin diri yang baik
h. Pandai berkomunikasi
Seorang wirausaha harus dapat menarik orang lain dengan tutur kata yang baik, sopan, jujur dan percaya diri. Dengan demikian akan memberi kesan kepada orang lain menjadi tertarik daan orang akan percaya dengan apa yang disampaikan.
Berikut adalah sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang wirausaha
1. Percaya Diri
Orang yang tinggi percaya dirinya adalah orang yang sudah matang jasmani dan rokhaninya. Karakteristik kematangan seseorang adalah ia tidak tergantung pada orang lain, memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi, obyektif, dan kritis, emosionalnya stabil, tidak gampang tersinggung dan naik pitam.
2. Berorientasi pada tugas dan hasil
Berbagai motivasi akan muncul dalam bisnis jika kita berusaha menyingkirkan prestise. Kita akan mampu bekerja keras, enerjik, tanpa malu dilihat teman, asal yang kita kerjakan adalah halal.
3. Pengambilan Resiko
Wirausaha penuh resiko dan tantangan, seperti persaingan, harga turun naik, barang tidak laku dan sebagainya. Namun semua tantangan ini harus dihadapi dengan penuh perhitungan.
4. Kepemimpinan
Pemimpin yang baik harus mau menerima kritik dari bawahan, ia harus bersifat responsive.
5. Keorisinilan
Yang dimaksud orisinal di sini ialah I tidak hanya mengekor pada orang lain, tetapi memiliki pendapat sendiri, ada ide yang orisinil, ada kemampuan untuk melaksanakan sesuatu. Orisinil tidak berarti baru sama sekali, tetapi produk tersebut mencerminkan hasil kombinasi baru atau reintegrasi dari komponen – komponen yang sudah ada, sehingga melahirkan sesuatu yang baru.
6. Berorientasi ke masa depan
Untuk menghadapi pandangan jauh ke depan, seorang wirausaha akan menyusun perencanaan dan strategi yang matang, agar jelas langkah – langkah yang akan dilaksanakan.
7. Kreativitas
Menurut Conny Setiawan (1984:8), kreativitas diartikan sebaga kemampuan untuk menciptakan suatu produk baru. Produk baru artinya tidak perlu seluruhnya baru, tapi dapat merupakan bagian – bagian produk saja. Contoh: Seorang wirausaha membuat berbagai kreasi dalam kegiatan usahanya, seperti susunan barang, pengaturan rak pajangan, menyebarkan brosur promosi dsb. Jadi kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi – kombinasi baru atau melihat hubungan – hubungan baru antara unsure, data, variable; yang sudah ada sebelumnya.
8. Konsep 10 D dari Bygrave
Dream
Seorang wirausaha mempunyai visi bagaimana keinginannya terhadap masa depan pribadi dan bisnisnya dan yang paling penting adalah dia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan impian tsb.
Decisiveness
Seorang wirausaha adalah orang yang tidak bekerja lambat. Kecepatan dan ketepatan dia mengambil keputusan adalah merupakan factor kunci (key factor) dalam kesuksesan bisnisnya.
Doers
Seorang wirausaha tidak mau menunda – nunda kesempatan yang dapat dimanfaatkan
Determination
Seorang wirausaha dalam melaksanakan kegiatannya memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi dan tidak mau menyerah, walaupun dia dihadapkan pada halangan atau rintangan yang tidak mungkin diatasi
Dedication
Dedikasi seorang wirausahawan sangat tinggi, semua perhatian dan kegiatannya dipusatkan semata – mata untuk kegiatan bisnisnya.
Devotion
Devotion berarti kegemaran atau kegila – gilaan. Hal inilah yang mendorong dia mencapai keberhasilan yang sangat efektif untuk menjual produk yang ditawarkannya, karena seorang wirausahawan akan mencintai pekerjaan bisnisnya.
Details
Seorang wirausahawan akan selalu memperhatikan factor – factor kritis. Dia tidak akan mengabaikan factor – factor kecil tertentu yang dapat menghambat kegiatan usahanya.
Destiny
Seorang wirausaha bertanggung jawab terhadap nasib dan tujuan yang hendak dicapainya.
Dollars
Wirausahawan tidak sangat mengutamakan kekayaan, motivasinya bukan memperoleh uang, akan tetapi uang dianggap sebagai ukuran kesuksesan bisnisnya.
Distribute
Seorang wirausahawan bersedia mendistribusikan kepemilikan bisnisnya terhadap orang – orang kepercayannya, yaitu orang – orang yang kritis dan mau diajak untuk mencapai sukses dalam bidang bisnis
3. Definisi Perilaku
Perilaku manusia adalah suatu aktivitas manusia itu sendiri (Soekidjo,N,1993 : 55) Secara operasional, perilaku dapat diartikan suatu respons organisme atau seseorang terhadap rangsangan dari luar subjek tersebut. (Soekidjo,N,1993 : 58)
Perilaku diartikan sebagai suatu aksi-reaksi organisme terhadap lingkungannya. Perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan. Berarti rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu. (Notoatmojo,S, 1997 : 60)
Perilaku adalah tindakan atau perilaku suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat di pelajari. (Robert Kwik, 1974, sebagaimana dikutip oleh Notoatmojo,S 1997) Perilaku manusia pada hakikatnya adalah proses interaksi individu dengan lingkungannya sebagai manifestasi hayati bahwa dia adalah makhluk hidup. (Sri Kusmiyati dan Desminiarti, 1990 : 1) Perilaku manusia adalah aktivitas yang timbul karena adanya stimulus dan respons serta dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung. (Sunaryo, 2004 : 3)
Perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan baik disadari maupun tidak.
Perilaku merupakan kumpulan berbagai faktor yang saling berinteraksi. Sering tidak disadari bahwa interaksi tersebut amat kompleks sehingga kadang-kadang kita tidak sempat memikirkan penyebab seseorang menerap-kan perilaku tertentu. Karena itu amat penting untuk dapat menelaah alasan dibalik perilaku individu, sebelum ia mampu mengubah perilaku tersebut.
Dalam sebuah buku yang berjudul “Perilaku Manusia” Drs. Leonard F. Polhaupessy, Psi. menguraikan perilaku adalah sebuah gerakan yang dapat diamati dari luar, seperti orang berjalan, naik sepeda, dan mengendarai motor atau mobil. Untuk aktifitas ini mereka harus berbuat sesuatu, misalnya kaki yang satu harus diletakkan pada kaki yang lain. Jelas, ini sebuah bentuk perilaku. Cerita ini dari satu segi. Jika seseoang duduk diam dengan sebuah buku ditangannya, ia dikatakan sedang berperilaku. Ia sedang membaca. Sekalipun pengamatan dari luar sangat minimal, sebenarnya perilaku ada dibalik tirai tubuh, didalam tubuh manusia.
Dalam buku lain diuraikan bahwa perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme (makhluk hidup)yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh – tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktifitas masing – masing. Sehingga yang dimaksu perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktifitas manusia darimanusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan sebagainya. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati pihak luar (Notoatmodjo 2003 hal 114).
Skiner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespon, maka teori skiner disebut teori “S – O - R”atau Stimulus – Organisme – Respon. Skiner membedakan adanya dua proses.
1. Respondent respon atau reflexsive, yakni respon yang ditimbulkan oleh rangsangan – rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebutelecting stimulation karena menimbulkan respon – respon yang relative tetap. Misalnya : makanan yang lezat menimbulkan keinginan untuk makan, cahaya terang menyebabkan mata tertutup, dan sebagainya. Respondent respon ini juga mencakup perilaku emosinal misalnya mendengar berita musibah menjadi sedih atau menangis, lulus ujian meluapkan kegembiraannya ddengan mengadakan pesta, dan sebagainya.
2. Operant respon atau instrumental respon, yakni respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Pernagsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforce, karena memperkuat respon. Misalnya apabila seorang petugas kesehatan melaksanakan tugasnya dengan baik (respon terhadap uraian tugasnya atau job skripsi) kemudian memperoleh penghargaan dari atsannya (stimulus baru), maka petugas kesehatan tersebut akan lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya.
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
1) Perilaku tertutup adalah respon seseorang terhadap stimulus dakam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan / kesadaran, dan sikap yang terjadi belumbisa diamati secara jelas oleh orang lain.
2) Perilaku terbuka adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice).
Diatas telah dituliskan bahwa perilaku merupakan bentuk respon dari stimulus (rangsangan dari luar). Hal ini berarti meskipun bentuk stimulusnya sama namun bentuk respon akan berbeda dari setiap orang. Faktor – factor yang membedakan respon terhadap stimulus disebut determinan perilaku. Determinan perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
Faktor internal yaitu karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat given atau bawaan misalnya : tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.
Faktor eksternal yaitu lingkungan, baik lingkungan fisik, fisik, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering menjadi factor yang dominanyang mewarnai perilaku seseorang. (Notoatmodjo, 2007 hal 139)
Proses Tejadinya Perilaku
Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni.
1) Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui setimulus (objek) terlebih dahulu
2) Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus
3) Evaluation (menimbang – nimbang baik dan tidaknya stimulus bagi dirinya).Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi
4) Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru
5) Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus
Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini didasari oleh pengetanhuan, kesadaran, dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan menjadi kebiasaan atau bersifat langgeng (long lasting). Notoatmodjo, 2003 hal 122)
4. Definisi Kecerdasan
Terdapat beberapa cara untuk mendefinisikan kecerdasan. Dalam beberapa kasus, kecerdasan bisa termasuk kreativitas, kepribadian, watak, pengetahuan, atau kebijaksanaan. Namun, beberapa psikolog tak memasukkan hal-hal tadi dalam kerangka definisi kecerdasan. Kecerdasan biasanya merujuk pada kemampuan atau kapasitas mental dalam berpikir, namun belum terdapat definisi yang memuaskan mengenai kecerdasan Stenberg& Slater (1982) mendefinisikannya sebagai tindakan atau pemikiran yang bertujuan dan adaptif
Kecerdasan ialah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa, dan belajar. Kecerdasan erat kaitannya dengan kemampuan kognitif yang dimiliki oleh individu. Kecerdasan dapat diukur dengan menggunakan alat psikometri yang biasa disebut sebagai tes IQ. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa IQ merupakan usia mental yang dimiliki manusia berdasarkan perbandingan usia kronologis.
Berdasarkan pengertian tradisional, kecerdasan meliputi kemampuan membaca, menulis, berhitung, sebagai jalur sempit ketrampilan kata dan angka yang menjadi fokus di pendidikan formal (sekolah), dan sesungguhnya mengarahkan seseorang untuk mencapai sukses di bidang akademis (menjadi professor). Pandangan baru yang berkembang : ada kecerdasan lain di luar IQ, seperti bakat, ketajaman pengamatan sosial, hubungan sosial, kematangan emosional, dll. yang harus juga dikembangkan.
Menurut Sumarya (2004) ada beberapa jenis kecerdasan antara lain antara lain: kecerdasan phisik, kecerdasan intelektual, kecerdasan sosial, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.
a. Kecerdasan phisik secara kasar dapat diartikan sehat secara phisik. anak-anak memperoleh perhatian yang memadai: perhatikan empat sehat lima sempurna (nasi atau roti, sayur, lauk-pauk atau daging, buah, susu),. Jangan sampai kesehatan phisik terganggu karena kurang gizi. Soal gizi bukan kenikmatan tetapi kelengkapan. Kesehatan phisik lebih mudah diperhatikan, dan menjadi kekuatan atau modal untuk menunjang kecerdasan-kecerdasan lainnya.
b. kecerdasan intelektual kiranya secara umum dipahami dan ini yang bertahun-tahun menjadi tekanan pelakanaan proses pendidikan atau pembelajaran. Jika anak kurang gizi, maka sulit juga untuk menjadi cerdas secara intelektual.
c. kecerdasan sosial, secara kasar dapat diartikan “orang dapat bergaul dengan siapapun dan dalam keadaan apapun”. Sekali lagi anak atau orang yang sakit- sakit atau tidak sehat secara phisik akan sulit juga untuk bersahabat atau bersaudara dengan siapapun dan apapun (baca kecerdasan emosi pada pekerjaan). Pada umumnya yang sakit-sakitan atau tidak sehat secara phisik lalu memperoleh perlakuan khusus yang mengarah ke pemanjaan alias menjerumuskan anak ke masa depan yang kurang membahagiakan atau mensejahterakan.
d. kecerdasan emosional berarti orang mampu mengelola emosinya sendiri serta emosi yang lain. Emosi merupakan kekuatan yang harus dikelola dan disinerjikan sehingga bermanfaat untuk kesehatan atau kesejahteraan anak. Pelatihan untuk menghadapi dan mengelola aneka macam emosi perlu memperoleh tempat yang memadai.
e. kecerdasan spiritual dapat diartikan sebagai ‘yang mampu mengasihi Tuhan dan sesamanya’. Kasih itu bebas, tanpa batas , dan kebebasan hanya dibatasi oleh kasih. Mengasihi berarti tidak melecehkan atau merendahkan yang lain, tetapi menghormati dan menghargai martabat harkat yang lain. Ingat: masing-masing dari individu ‘diadakan, dilahirkan, dibesarkan, dididik’ oleh dan dengan kasih, dan masing-masing dari kita adalah ‘buah kasih’ atau ‘kasih’. Jadi saling mengasihi mudah, setiap bertemu dengan orang berarti bertemu dengan kasih, saling kasih-kasihan.
Dari uraian tersebut diatas kecerdasan adalah kecerdasan terbagai ke dalam berbagai kecerdasan, sedangkan kecerdasan itu sendiri adalah kemampuan yang dimiliki oleh seorang individu untuk memecahkan sesuatu persolan.
5. Kecerdasan Spiritual
Pada suatu hari seorang guru fisika disebuah sekolah menengah menerangkan kepada para siswanya bahwa hidup manusia tidak lain adalah proses pembakaran. Mendengar keterangan sang guru itu, seorang siswa secara spontan melontarkan suatu pertanyaan tajam yang bernada menggugat,"kalau begitu, lalu apa artinya hidup manusia didunia ini?" (Frankl, dalam Koeswara, 1992).
Pembicaraan mengenai SQ atau kecerdasan spiritual tidak lepas dari konsep filosofis yang menjadi latar belakangnya. Konsep mengenai SQ itu sendiri sebenarnya sudah lama diperbincangkan, hanya saja dengan kemasan yang berbeda. Dalam ilmu psikologi dikenal tiga aliran besar yang menjadi inspirasi bagi banyak aliran yang berkembang pada saat kemudian. Aliran tersebut adalah behaviorisme, psikoanalisis dan humanistis. Kecerdasan spiritual banyak mengembangkan konsep-konsepnya dari aliran humanistis. Aliran humanistis ini kemudian mengembangkan sayapnya secara spesifik membentuk psikologi transpersonal, dengan landasan "pengalaman keagamaan" sebagai peak experience, plateau dan fartherst of human nature. Menurut Maslow (Rakhmat dalam Zohar dan Marshall, 2000) psikologi belum sempurna sebelum difokuskan kembali dalam pandangan spiritual dan transpersonal.
Penelusuran pemahaman kecerdasan spiritual (SQ) saat sekarang nampaknya cukup relevan, mengingat banyaknya persoalan-persoalan sosial yang semakin membebani hidup seseorang. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Frankl (Koeswara, 1992) bahwa sebagian besar masyarakat sekarang mengidap neurosis kolektif. Ciri dari gejala tersebut adalah:
Sikap masa bodoh terhadap hidup, yaitu suatu sikap yang menunjukkan pesimisme dalam menghadapi masa depan hidupnya.
Sikap fatalistik terhadap hidup, menganggap bahwa masa depan sebagai sesuatu yang mustahil dan membuat rencana bagi masa depan adalah kesia-siaan.
Pemikiran konformis dan kolektivis. Yaitu cenderung melebur dalam masa dan melakukan aktivitas atas nama kelompok. Fanatisme, yaitu mengingkari kelebihan yang dimiliki oleh kelompok atau orang lain
Dengan ciri-ciri tersebut manusia berjalan menuju penyalahartian dan penyalahtafsiran tentang dirinya sendiri sebagai sesuatu yang "tidak lain" (nothing but) dari refleks-refleks atau kumpulan dorongan (biologisme), dari mekanisme-mekanisme psikis (psikologisme) dan produk lingkungan ekonomis (sosiologisme). Dengan ketiga konteks tersebut maka manusia "tidak lain" adalah mesin. Kondisi tersebut merupakan penderitaan spiritual bagi manusia.
Pengetahuan dasar yang perlu dipahami adalah SQ tidak mesti berhubungan dengan agama. Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan jiwa yang dapat membantu seseorang membangun dirinya secara utuh. SQ tidak bergantung pada budaya atau nilai. Tidak mengikuti nilai-nilai yang ada, tetapi menciptakan kemungkinan untuk memiliki nilai-nilai itu sendiri.
“SQ adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan masalah makna dan nilai”. ‘SQ adalah kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya “Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain “Kecerdasan ini tidak hanya untuk mengetahui nilai-nilai yang ada, tetapi juga untuk secara kreatif menemukan nilai-nilai baru.
Menurut Zohar dan Marshal memang SQ mempunyai kaitan dengan kreativitas. Tetapi kreativitas di sini juga terkait dengan masalah nilai. Dikatakan bahwa SQ memungkinkan manusia menjadi kreatif, mengubah aturan dan situasi, memberi rasa moral, menentukan baik dan jahat, memberi gambaran atau bayangan kemungkinan yang belum terwujud.
Aspek selanjutnya dari SQ adalah bahwa SQ berkaitan dengan unsur pusat dari bagian dari diri manusia yang paling dalam dan menjadi pemersatu seluruh bagian diri manusia yang lain.
“SQ adalah kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan kearifan diluar ego atau jiwa sadar.”
“SQ menjadikan manusia yang benar- benar utuh secara intelektual, emosional dan spiritual.”
“SQ adalah kecerdasan jiwa. Ia adalah kecerdasan yang dapat membantu manusia menyembuhkan dan membangun diri manusia secara utuh.”
“SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif oleh karena itu SQ adalah kecerdasan manusia yang paling tinggi. Hal ini secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan kemampuan manusia mentransendensikan diri: “transendensi merupakan kualitas tertinggi dari kehidupan spiritual. Menurut Zohar dan Marshall transendensi adalah sesuatu yang membawa manusia “mengatasi” (beyond) – mengatasi masa kini, mengatasi rasa suka dan rasa duka, bahkan mengatasi diri kita pada saat ini.
Kecerdasan spiritual adalah kemampuan seseorang memberi makna pada kehidupan. Menurut Tony Buzan, ciri kecerdasan spiritual pada seseorang adalah; kerap berbuat baik, menolong, memiliki empati yang besar, memaafkan, mampu memilih kebahagiaan, memiliki sense of humor yang baik dan merasa memikul sebuah misi yang mulia.
Ia membawa manusia melampaui batas-batas pengetahuan dan pengalaman kita., serta menempatkan pengetahuan dan pengalaman kita kedalam konteks yang lebih luas. Transendensi membawa manusia kepada kesadaran akan sesuatu yang luar biasa, dan tidak terbatas, baik di dalam maupun diluar diri kita. SQ adalah fasilitas yang berkembang selama jutaan tahun yang memungkinkan otak untuk menemukan dan menggunakan makna dalam memecahkan persoalan. Utamanya persoalan yang menyangkut masalah eksistensial, yaitu saat seseorang secara pribadi terpuruk, terjebak oleh kebiasaan, kekhawatiran dan masalah masa lalu akibat penyakit dan kesedihan. Dengan dimilikinya SQ seseorang mampu mengatasi masalah hidupnya dan berdamai dengan masalah tersebut. SQ memberi sesuatu rasa yang "dalam" pada diri seseorang menyangkut perjuangan hidup.
Penelusuran kecerdasan spiritual tampaknya merupakan jawaban akan keterbatasan kemampuan intelektual (IQ) dan emosional (EQ) dalam menyelesaikan kasus-kasus yang didasarkan atas krisis makna hidup. Otak IQ dasar kerjanya adalah berfikir seri, linear, logis dan tidak melibatkan perasaan. Keunggulan dari berfikir seri ini adalah akurat, tepat dan dapat dipercaya. Kelemahannya adalah ia hanya bekerja dalam batas-batas yang ditentukan, dan menjadi tidak berguna jika seseorang ingin menggali wawasan baru atau berurusan dengan hal-hal yang terduga.
Otak EQ cara kerjanya berfikir asosiatif. Jenis pemikiran ini membantu seseorang menciptakan asosiasi antarhal, misalnya antara lapar dan nasi, antara rumah dan kenyamanan, antara ibu dan cinta, dll. Pada intinya pemikiran inimencoba membuat asosiasi antara satu emosi dan yang lain, emosi dan gejala tubuh, emosi dan lingkungan sekitar. Kelebihan cara berfikir asosiatif adalah bahwa ia dapat berinteraksi dengan pengalaman dan dapat terus berkembang melalui pengalaman atau eksperimen. Ia dapat mempelajari cara-cara baru melalui pengalaman yang belum pernah dilakukan sebelumnya, merupakan jenis pemikiran yang dapat mengenali nuansa ambiguitas. Kelemahan dari otak EQ adalah variasinya sangat individual dan tidak ada dua orang yang memiliki kehidupan emosional yang sama. Hal ini tampak dari pernyataan "saya dapat mengenali emosi anda, saya dapat berempati terhadapnya, tetapi saya tidak dapat memiliki emosi anda".
Otak SQ cara kerjanya berfikir unitif. Yaitu kemampuan untuk menangkap seluruh konteks yang mengaitkan antar unsur yang terlibat. Kemampuan untuk menangkap suatu situasi dan melakukan reaksi terhadapnya, menciptakan pola dan aturan baru.
Kemampuan inimerupakan ciri utama kesadaran, yaitu kemampuan untuk mengalami dan menggunakan pengalaman tentang makna dan nilai yang lebih tinggi.
Tanda dari SQ yang berkembang dengan baik
1) Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif)
2) Tingkat kesadaran diri yang tinggi
3) Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan
4) Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit
5) Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai
6) Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu
7) Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (holistik)
8) Kecenderungan nyata untuk bertanya "mengapa?" atau "bagaimana jika" untuk mencari jawaban-jawaban mendasar
9) Mandiri
SQ yang berkembang dengan baik dapat menjadikan seseorang memiliki "makna" dalam hidupnya. Dengan "makna" hidup ini seseorang akan memiliki kualitas "menjadi", yaitu suatu modus eksistensi yang dapat membuat seseorang merasa gembira, menggunakan kemampuannya secara produktif dan dapat menyatu dengan dunia.
Melatih Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan spiritual bisa didapat dengan mengikuti training, yang didalamnya terdapat pelatihan terdiri:
· Management of anger, peserta dilatih untuk bersedia memaafkan orang-orang yang sudah menyakiti hati. Jadi pemberian maaf tidak lagi hanya di bibir tapi sampai ke hati.
· Random act kindness, artinya menolong orang yang tidak Anda kenal sehingga tidak ada motif tersembunyi. Pelatihan ini memicu kita hidup bahagia dan mudah menolong orang lain.
· Kesabaran dan kemampuan menemukan misi hidup, orang yang tahu misi hidupnya akan merasa memikul misi tersebut sehingga merasa hidup ada tujuannya dan bermakna bagi orang lain. Misi tersebut akan menjadi guide, cahaya yang menerangi orang itu dalam perjalanan hidupnya.
6. Kecerdasan Emosional
Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman (2002 : 411) emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis.
Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia (Prawitasari,1995)
Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara lain Descrates. Menurut Descrates, emosi terbagi atas : Desire (hasrat), hate (benci), Sorrow (sedih/duka), Wonder (heran), Love (cinta) dan Joy (kegembiraan). Sedangkan JB Watson mengemukakan tiga macam emosi, yaitu : fear (ketakutan), Rage(kemarahan), Love (cinta). Daniel Goleman (2002 : 411) mengemukakan beberapa macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu:
a. Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati
b. Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, putus asa
c. Rasa takut : cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang, ngeri
d. Kenikmatan : bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga
e. Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih
f. Terkejut : terkesiap, terkejut
g. Jengkel : hina, jijik, muak, mual, tidak suka
h. malu : malu hati, kesal
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa semua emosi menurut Goleman pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Dalam the Nicomachea Ethics pembahasan Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar, tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan (Goleman, 2002 : xvi).
Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 65) orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu : sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu perasaan (afek) yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.
Pengertian kecerdasan emosional
Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan.
Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut EQ sebagai : “himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.” (Shapiro, 1998:8).
Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional.
Keterampilan EQ bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu, EQ tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan. (Shapiro, 1998-10).
Sebuah model pelopor lain yentang kecerdasan emosional diajukan oleh Bar-On pada tahun 1992 seorang ahli psikologi Israel, yang mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tututan dan tekanan lingkungan (Goleman, 2000 :180).
Gardner dalam bukunya yang berjudul Frame Of Mind (Goleman, 2000 : 50-53) mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan emosional.
Menurut Gardner, kecerdasan pribadi terdiri dari :”kecerdasan antar pribadi yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan kecerdasan. Sedangkan kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan modal tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif.” (Goleman, 2002 : 52).
Dalam rumusan lain, Gardner menyatakan bahwa inti kecerdasan antar pribadi itu mencakup “kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain.” Dalam kecerdasan antar pribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia mencantumkan “akses menuju perasaan-perasaan diri seseorang dan kemampuan untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku”. (Goleman, 2002 : 53).
Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey (Goleman, 200:57) memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri individu. Menurutnya kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.
Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kemampuan siswa untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.
Faktor Kecerdasan Emosional
Goleman mengutip Salovey (2002:58-59) menempatkan menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemapuan tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu :
a. Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 64) kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.
b. Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2002 : 77-78). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.
c. Memotivasi Diri Sendiri
Presatasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.
d. Mengenali Emosi Orang Lain
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Menurut Goleman (2002 :57) kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.
Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuiakan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah beraul, dan lebih peka (Goleman, 2002 : 136). Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi (Goleman, 2002 : 172). Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.
e. Membina Hubungan
Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2002 : 59). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain.
Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2002 :59). Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya.
7. Kecerdasan Intelektual
IQ atau dalam bahasa melayu, dipanggil sebagai kecerdasan intellectual, di temui pada tahun 1905 oleh Binet di Paris. Manakala EQ atau kecerdasan emosi ditemui pada tahun 1995 oleh Danie Golman yang ditulis melalui buku beliau yang bertajuk “Working with Emotional Intelligence”.Manakala pada tahun 2000 SQ atau kecerdasan spiritual ditemui oleh VS Ramachandran di universiti California,dengan penemuan beliau fungsi saraf God Spot. Selepas itu dijumpai oleh Michael persinger yang dikenali sebagai Binding Problem.
Kecerdasan intelektual (IQ) lazimnya membolehkan seseorang belajar di universiti atau pun memegang jawatan profesional. Bagaimanapun, ia bukanlah satu jaminan yang seseorang manusia yang memiliki IQ yang tinggi akan sejahtera dalam hidup.
Dikemukakan oleh Muhammad Sa’id Mursi dalam bukunya “Seni Mandidik Anak” tentang IQ (kecerdasan intelektual), kecerdasan adalah kemampuan untuk mengetahui hubungan antara beberapa benda, kemampuan untuk menciptakan atau memperbaharui, kemampuan untuk belajar, berfikir, memahami, menguasai, berkhayal, mengingat dan merasa, kemampuan untuk memecahkan masalah, mengerjakan tugas dengan berbagai tingkat kesulitan.
Dalam definisi yang lain juga dikatakan bahwa IQ adalah bakat yang didapat dari keturunan, tapi lingkungan dan kondisi sekelilingnya juga mempengaruhi peningkatan presentasi kecerdasan sesorang melalui pengalaman, pengetahuan yang didapat dan pengajaran.
Kemudian dikemukakan pula oleh David Wechsler tentang IQ yaitu kemampuan untuk bertindak secara terarah, berfikir secara rasional dan menghadapi lingkungannya secara efektif.
Menurut Thurstone IQ (kecerdasan intelektuan) adalah:
· Kemampuan untuk memahami hal-hal ynag dinyatakan secara verbal atau menggunakan bahasa.
· Kelancaran dan kefasihan menyatakan buah pikiran dengan menggunakan kata-kata.
· Kemampuan untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah matematis yaitu masalah yang menyangkut dan menggunakan angka-angka atau bilangan.
· Kemampuan untuk mengingat.
· Kemampuan untuk mengamati dan memberikan penafsiran atas hasil pengamatan
· Kemampuan berfikir logis.
Dengan demikian, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa IQ (kecerdasan intelektual) adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berfikir secara rasional. Oleh karena itu, intelegensi atau IQ tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berfikir rasional.
Kecerdasan seseorang berkembang seiring dengan bertambahnya usia, secara umum anak yang cerdas mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1) Lebih kuat dalam memperhatikan dan lebih cepat memahami sesuatu dibandingkan dengan yang lain
2) Lebih cepat belajar menerima pemikiran dan informasi Lebih mampu mengetahui hubungan antara beberapa hal, jumlah dan kalimat
3) Lebih mampu menciptakan sesuatu, merancang rencana dan cara untuk mencapai tujuan
4) Lebih cepat beradaptasi dengan sitiasi baru
5) Percaya diri.
Carl Witherington mengemukakan enam ciri dari perbuatan yang cerdas yaitu:
1) Memiliki kemampuan yang cepat dalam bekerja dengan bilangan
2) Efisien dalam berbahasa
3) Kemampuan mengamati dan menarik kesimpulan dari hasil pengamatan yang cukup cepat
4) Kemampuan mengingat yang cukup cepat dan tahan lama
5) Cepat dalam memahami hubungan
6) Memiliki daya khayal atau imajinasi yang tinggi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan beberapa ciri dari prilaku cerdas atau prilaku individu yang memiliki kecerdasan tinggi adalah sebagai berikut:
1) Memiliki daya adaptasi yang tinggi artinya prilaku cerdas cepat membaca dan menyesuaikan diri dengan lingkungan, tidak banyak mengeluh dan merasakan hambatan dari lingkungan
2) Prilaku cerdas berorientasi kepada keberhasilan artinya tidak takut gagal dan selalu optimis
3) Sikap jasmaniah yang baik artinya seorang siswa yang intelegen ketika pelajaran berlangsung duduk dengan baik, menempatkan bahan yang dipelajari dengan baik, memegang alat tulis dengan baik, tidak belajar sambil tiduran, sambil tengkurap, dll
4) Mempunyai motivasi yang tinggi.
Macam-Macam Kecerdasan
Menurut Gardner ada tujuh macam kecerdasan yang dimiliki manusia, antara lain:
a. Kinestetik
Kecerdasan kinestik disebut juga body smart. Kecerdasan ini melibatkan koordinasi bahasa badan, yang memproses pengetahuan melalui indra tubuh. Jadi, kecerdasan kinestik merupakan kecakapan melakukan gerakan dan keterampilan kecekatan fisik seperti dalam olah raga, atletik, menari, kerajinan tangan, bedah, dll. Orang-orang yang memiliki kecerdasan kinestetik yang tinggi adalah para olah ragawan, penari, pecinta tari, pengrajin profesional, dokter bedah, dll.
b. Bahasa
Kecerdasan bahasa disebut juga word smart. Kecerdasan ini dapat dilihat dari kemampuan menggunakan bahasa yang efektif. Jadi, kecerdasan bahasa berkaitan dengan kemampuan berbicara, mendengarkan, membaca, dan menulis.
Dalam kecerdasan ini terdapat cakupan yang didalamnya terdapat kemampuan dalam ejaan, kosa kata, dan tata bahasa. Kecerdasan bahasa pada umumnya dimiliki oleh seorang pembaca naskah berita, para penulis, ahli bahasa, sastrawan, jurnalis, orator, penyiar, mereka adalah orang-orang yang memilki kecerdasan linguistik (bahasa) yang tinggi.
c. Musical
Kecakapan untuk menghasilkan dan menghargai musik, sensitivitas terhadap melodi, ritme, nada, tangga nada, menghargai bentuk-bentuk ekspresi musik. Kecerdasan ini melibatkan kemampuan menyanyikan lagu, menghafal melodi musik, mempunyai kepekaan akan irama, atau sekedar menikmati musik.
Anak-anak yang memiliki kecerdasan musikal biasanya bercita-cita menjadi musisi, dirigen, pembuat instrumen musik, penyanyi, pengamat musik, dll.
d. Visual-Spasial
Kecerdasan ini disebut juga picture smart. Yaitu merupakan kecakapan berfikir dalam ruang tiga dimensi. Seorang yang memiliki intelegensi visual-ruang yang tinggi sepert pilot, nahkoda, astronot, pelukis, arsitek, perancang, dll. Yang mana mereka mampu menangkap bayangan ruang internal dan eksternal, untuk penentuan arah dirinya atau benda yang dikendalikan, atau mengubah, mengkresi, dan menciptakan karya-karya tiga dimensi nyata.
e. Logika Matematika
Kecerdasan ini disebut juga number smart. Anak yang menonjol dalam kecerdasan ini memiliki keterampilan untuk mengolah angka-angka dan mahir dalam menggunakan logika atau akal sehat. Kecerdasan ini dimiliki oleh para ilmuan, ahli matematis, akuntan, insinyur, pemogram komputer.
f. Interpersonal (Kecerdasan Hubungan Sosial)
Kecerdasan ini disebut juga people smart yaitu kecakapan memahami dan merespon serta berinteraksi dengan orang lain dengan tepat, watak, temperamen, motivasi, dan kecenderungan terhadap orang lain. Orang yang memiliki kecerdasan hubungan sosial diantaranya guru, konselor, pekerja sosial, aktor, pemimpin masyarakat, politikus, dll.
g. Intrapersonal
Kecerdasan ini disebut juga self smart yaitu kecakapan memahami kehidupan emosional, membedakan emosi orang-orang, pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan diri. Kecakapan membentuk persepsi yang tepat terhadap orang, menggunakannya dalam merencanakan dan mengarahkan orang lain; agamawan, psikolog, psikiater, filosof, adalah mereka yang memiliki kecerdasan pribadi yang tinggi.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi IQ
a. Faktor Bawaan Atau Keturunan
Ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa faktor genetik dapat mempengaruhi taraf intelegensi seseorang. Artinya, jika kedua orang tua memiliki intelegensi, besar kemungkianan anaknya memiliki intelegensi tinggi pula. Akan tetapi hal inipun tidak terjadi demikian. Adakalanya kedua orang tua memiliki taraf intelegensi tinggi mempunyai anak dengan taraf intelegensi pada tingkat rata-rata atau bahkan dibawah rata-rata.
Sebagian pakar berpendapat bahwa pengaruh orang tua yang sedemikian besar terhadap perkembangan intelegensi anak adalah lebih disebabkan oleh upaya orang tua itu sendiri dalam memberdayakan anak-anaknya.
Dr. Bernard Devlin dari fakultas kedokteran universitas Pittsburg, AS, memperkirakan faktor genetika memiliki peranan sebesar 48 % bentuk IQ anak, sedangkan sisanya adalah faktor lingkungan, termasuk ketika anak masih dalam kandungan.
Untuk menjelaskan peran genetika dalam pembentukan IQ anak, seorang pakar lain dibidang genetika dan psikologi dari universitas Minesito, AS, bernama Matt Mc Gee mencontohkan pada keluarga kerajaan yang memiliki gen elit, keturunannya belum tentu memiliki gen elit.
Matt Mc Gee mengatakan keluarga bangsawan yang memiliki IQ tinggi umumnya hanya sampai generasi kedua atau ketiga. Generasi berikutnya belum diketahui secara pasti, karena mungkin saja hilang. Meski dapat muncul lagi pada generasi kedelapan atau berikutnya. Jadi orang tua yang memiliki IQ tinggi bukan jaminan dapat menghasilkan anak ber IQ tinggi pula.
Jadi, hal tersebut diatas menunjukkan bahwa faktor genetic bukan satu-satunya faktor penentu tingkat kecerdasan anak.
b. Faktor Lingkungan
Pengembangan potensi anak mencapai aktualisasi optimal bukan hanya dipengaruhi faktor bakat, melainkan faktor lingkungan yang membimbing dan membentuk perkembangan anak. Faktor lingkungan dalam banyak hal justru memberi andil besar dalam kecerdasan anak. Yang dimaksud tidak lain adalah upaya memberi ‘iklim’ tumbuh kembang sebaik mungkin agar kecerdasan dapat berkembang optimal. Seperti yang dikemukakan oleh Conny Semiawan dalam bukunya yang berjudul ”Belajar dan Pembelajaran dalam Taraf Pendidikan Usia Dini” bahwa: “Seseorang secara genetis telah lahir dengan suatu organisme yang disebut intelegensi yang bersumber dari otaknya, kalau struktur otak sudah ditentukan oleh biologis, berfungsinya otak tersebut sangat dipengaruhi oleh interaksi dengan lingkungannya.”
Para pakar yakin faktor lingkungan benar-benar dapat mempengaruhi kecerdasan anak, hal ini terbukti dengan Helen dan Glady sepasang bayi kembar, bisa menjadi salah satu buktinya. Pada usia 18 bulan mereka dirawat secara terpisah. Helen hidup dan dibesarkan dalam satu keluarga bahagia dengan keluarga yang hidup dan dinamis, sedangkan Glady dibesarkan di daerah gersang dalam lingkungan ‘miskin’ rangsangan. Ternyata saat dilakukan pengukuran Helen memiliki angka IQ 116 dan berhasil meraih gelar sarjana dalam bidang bahasa inggris. Sedangkan Glady terpaksa putus sekolah lantaran sakit-sakitan dan IQ-nya 7 angka dibawah saudaranya.
8. Kecerdasan Adversity
Konsep tentang kecerdasan adversity atau adversity intelligence (AI) dibangun berdasarkan hasil studi empirik yang dilakukan oleh banyak ilmuwan serta lebih dari lima ratus kajian di seluruh dunia, dengan memanfaatkan tiga disiplin ilmu pengetahuan, yaitu psikologi kognitif, psikoneuroimunologi, dan neurofisiologi. Kecerdasan adversity memasukkan dua komponen penting dari setiap konsep praktis, yaitu teori ilmiah dan aplikasinya dalam dunia nyata. Konsep kecerdasan adversity pertama kali digagas oleh Paul G. Stoltz (Jaffar, 2003).
Menurut Stoltz (2005), pengertian kecerdasan adversity tertuang ke dalam tiga bentuk, yaitu: pertama, kecerdasan adversity sebagai suatu kerangka kerja konseptual yang baru yang digunakan untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, kecerdasan adversity sebagai suatu ukuran untuk mengetahui reaksi seseorang terhadap kesulitan yang dihadapinya. Ketiga, kecerdasan adversity sebagai seperangkat peralatan yang memiliki landasan ilmiah untuk merekonstruksi reaksi terhadap kesulitan hidup. Agar kesuksesan menjadi nyata, maka Stoltz (Kusuma, 2004) berpendapat bahwa kombinasi dari ketiga unsur tersebut yaitu pengetahuan baru, tolok ukur, dan peralatan yang praktis merupakan sebuah kesatuan yang lengkap untuk memahami dan memperbaiki komponen dasar dalam meraih sukses.
Berbeda dengan Stoltz, Mortel (Kusuma, 2004) berpandangan bahwa makin besar harapan seseorang terhadap dirinya sendiri, maka makin kuat pula tekadnya untuk meraih kesuksesan dan keberhasilan dalam hidup. Maxwell (Kusuma, 2004) mengatakan bahwa ketekunan yang dimiliki oleh seseorang akan memberinya daya tahan. Daya tahan tersebut akan membuka kesempatan baginya untuk meraih kesuksesan dalam hidup.
Secara garis besar konsep kecerdasan adversity menawarkan beberapa manfaat yang dapat diperoleh, yaitu:
1) kecerdasan adversity merupakan indikasi atau petunjuk tentang seberapa tabah seseorang dalam menghadapi sebuah kemalangan
2) kecerdasan adversity memperkirakan tentang seberapa besar kapabilitas seseorang dalam menghadapi setiap kesulitan hidup dan ketidakmampuannya dalam menghadapi kesulitan
3) kecerdasan adversity memperkirakan siapa yang dapat melampaui harapan, kinerja, serta potensinya, dan siapa yang tidak
4) kecerdasan adversity dapat memperkirakan siapa yang putus asa dalam menghadapi kesulitan dan siapa yang akan bertahan (Stoltz, 2005).
Stoltz (2005) menambahkan bahwa individu yang memiliki kemampuan untuk bertahan dan terus berjuang dengan gigih ketika dihadapkan pada suatu problematika hidup, penuh motivasi, antusiasme, dorongan, ambisi, semangat, serta kegigihan yang tinggi, dipandang sebagai figur yang memiliki kecerdasan adversity yang tinggi, sedangkan individu yang mudah menyerah, pasrah begitu saja pada takdir, pesimistik dan memiliki kecenderungan untuk senantiasa bersikap negatif, dapat dikatakan sebagai individu yang memiliki tingkat kecerdasan adversity yang rendah. Werner (Stoltz, 2005), dengan didasarkan pada hasil penelitiannya mengemukakan bahwa anak yang ulet adalah seorang perencana, orang yang mampu menyelesaikan masalahnya dan orang yang mampu memanfaatkan peluang. Orang yang mengubah kegagalannya menjadi batu loncatan mampu memandang kekeliruan atau pengalaman negatifnya sebagai bagian dari hidupnya, belajar darinya dan kemudian maju terus.
Menurut Maxwell (Kusuma, 2004) setidaknya ada tujuh kapasitas yang dibutuhkan untuk mengubah kegagalan menjadi batu loncatan, yaitu
1) para peraih prestasi pantang menyerah dan tidak pernah jemu untuk terus mencoba karena tidak mendasarkan harga dirinya pada prestasi
2) para peraih prestasi memandang kegagalan sebagai sesuatu yang nisbi sifatnya
3) para peraih prestasi memandang kegagalan-kegagalan sebagai insiden-insiden tersendiri
4) para peraih prestasi memiliki ekspektasi yang realistis
5) para peraih prestasi memfokuskan perhatian pada kekuatan-kekuatannya
6) para peraih prestasi menggunakan multi pendekatan dalam meraih prestasi
7) para peraih prestasi mudah bangkit kembali.
Stoltz (2005) mengajukan beberapa faktor yang diperlukan untuk mengubah kegagalan menjadi suatu peluang yaitu daya saing, produktivitas, kreativitas, motivasi, mengambil risiko, ketekunan, belajar, merangkul perubahan, dan keuletan. Ditambahkan juga bahwa dalam menghadapi setiap kesulitan, kesedihan serta kegagalan hidup maka yang diperlukan adalah sikap tahan banting dan keuletan .
Pannyavaro (2006) menyatakan bahwa kesulitan hidup jika dihadapi, disadari, akan menjadi sesuatu yang biasa saja. Karena sejatinya kesulitan merupakan sebuah perubahan, perubahan dari sesuatu yang menyenangkan, membahagiakan, menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, itu pulalah yang dinamakan sebagai penderitaan. Padahal jika dilihat, sebenarnya hal tersebut hanyalah sebuah proses perubahan semata.
Mortel (Kusuma, 2004) mengemukakan bahwa kegagalan adalah suatu proses yang perlu dihargai. Mortel juga berpendapat bahwa kegagalan hanyalah suatu pengalaman yang akan menghantar seseorang untuk mencoba berusaha lagi dengan pendekatan yang berbeda. Menurut Lasmono (Jaffar, 2003), untuk menciptakan perubahan dalam hidup seseorang harus bertekad untuk terus mendaki melawan rintangan. Untuk itu individu harus mampu mengembangkan kecerdasan adversity yang tinggi dan mengenali tiga tahap adversity yang disusun dengan model piramid mulai dari dasar sebagai berikut:
1) Societal Adversity: Ketidakjelasan tentang masa depan, kecemasan tentang keamanan ekonomi, meningkatnya kriminalitas, kerusakan lingkungan, bencana alam, serta krisis moral.
2) Workplace Adversity: Peningkatan ketajaman terhadap pekerjaan, pengangguran dan ketidakjelasan mengenai apa yang akan dihadapi.
3) Individual Adversity: Individu dapat memulai perubahan dan pengendalian.
Kecerdasan adversity terdiri atas empat komponen yang tercakup dalam akronim CO2RE. Komponen-komponen CO2RE ini akan menentukan kecerdasan adversity individu secara menyeluruh (Stoltz, 2005). Komponen- komponen CO2RE tersebut adalah:
Control (C)
Control yang disingkat dengan “C” berarti kendali, atau berapa banyak kendali yang dirasakan terhadap sebuah peristiwa yang menghadirkan kesulitan. Kendali yang sebenarnya dalam suatu situasi hampir tidak mungkin untuk diukur. Kendali berkorelasi langsung dengan pemberdayaan dan pengaruh, serta mempengaruhi semua dimensi CO2RE lainnya. Tanpa adanya kendali terhadap kesulitan, harapan dan tindakan akan hancur. Sebaliknya dengan adanya kendali terhadap kesulitan, maka hidup akan dapat diubah dan tujuan-tujuan yang in gin dicapai akan terwujud. Kendali diawali dengan pemahaman bahwa sesuatu—apapun itu—dapat dilakukan.
Origin (O)
Origin atau asal usul, mempertanyakan apa yang menjadi asal usul dari sebuah kesulitan. Orang yang kecerdasan adversity-nya rendah cenderung akan memiliki rasa bersalah yang berlebihan atau tidak semestinya atas peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi dalam kehidupannya. Dalam hal ini, sebagian orang menganggap dirinya adalah satu-satunya sumber atau asal usul (origin) terjadinya kesulitan tersebut. Menurut Reynolds (2005), bagian paling penting untuk menghadapi bayangan diri seseorang—klaim atas diri sebagai asal usul terjadinya sebuah kesulitan—adalah dengan memaafkan dan tidak menghakimi. Karena sesungguhnya, dengan sumber daya yang terbatas, seseorang akan senantiasa melakukan apa yang diyakininya terbaik untuk mencapai suatu kebahagiaan. Pada dasarnya rasa bersalah memiliki dua fungsi; pertama, rasa itu dapat membantu seseorang untuk belajar dan melakukan perbaikan agar nantinya keadaan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Kedua, rasa bersalah yang mengarah pada suatu penyesalan. Penyesalan merupakan suatu motivator yang sangat kuat, hanya bila ia ditempatkan pada porsi atau takaran yang sewajarnya, tidak berlebihan.
Ownership (OW)
Ownership atau pengakuan, yaitu sejauh mana seseorang mau mengakui akibat-akibat dari suatu kesulitan atau kegagalan yang terjadi. Komponen ini berkaitan erat dengan komponen origin, yang menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat ownership seseorang, maka semakin besar derajat pengakuannya terhadap akibat-akibat dari suatu kesulitan atau permasalahan yang dihadapinya. Sebaliknya, orang yang memiliki tingkat ownership yang rendah cenderung akan melemparkan kesalahan pada orang lain yang ada di sekitarnya, dan merasa enggan untuk bertanggung jawab mengakui akibat-akibat yang timbul dari kesulitan dan kegagalannya sendiri.
Reach (R)
Reach atau jangkauan merupakan komponen untuk mengetahui sejauh mana kesulitan akan menjangkau ranah-ranah yang lain dalam kehidupan individu. Individu yang memiliki respon reach yang rendah dalam menghadapi segala sesuatu hanya akan membuat kesulitan bagi dirinya, dan pada gilirannya nanti akan mempengaruhi wilayah-wilayah yang lain dalam kehidupannya, sehingga akan menghambat kinerjanya serta menimbulkan penilaian diri yang negatif.
Endurance (E)
Endurance atau daya tahan, merupakan komponen pemuncak dalam komposisi kecerdasan adversity. Komponen ini mempertanyakan tentang berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan itu akan berlangsung. Semakin rendah skor E seseorang, semakin besar kemungkinan ia akan menganggap kesulitan akan berlangsung lama. Sebaliknya, semakin tinggi skor E seseorang, akan memperbesar kemungkinan seseorang menganggap kesulitan yang dihadapinya akan berlangsung dalam waktu singkat atau sementara.
Perjalanan hidup orang sukses dan orang gagal sama, yakni: menghadapi dan mengalami berbagai kesulitan hidup, adapun perbedaannya terletak pada kecerdasan menghadapi dan merespons kesulitan hidup yang dijalaninya. Artinya orang sukses lebih cerdas dari pada orang gagal dalam menghadapi kesulitan hidupnya. Paul G Stolt dalam dua bukunya berjudul; "Adversity Quotient (2000)" dan "Adversity Quotient a Work (2003)" secara komprehensif menjelaskan apa yang dimaksud kecerdasan menghadapi kesulitan dan bagaimana meningkatkan kecerdasan baru tersebut. Kecerdasan baru dimaksud berawal dari hasil penelitian yang dilakukan para ilmuan kelas atas selama 19 tahun, mengkaji lebih dari 500 referensi dari tiga cabang ilmu pengetahuan, yakni psikologi kognitif, psikoneuroimunologi, dan neurofisiologi, dan menerapkan hasil penelitian dan pengkajiannya selama 10 tahun di seluruh dunia dan akhirnya sampai pada suatu kesimpulan bahwa terdapat satu kecerdasan baru yang selama ini tidak terungkap dibutuhkan dan menentukan kesuksesan seseorang, yakni kecerdasan menghadapi kesulitan (Adversity Quotient).
Penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Thomas J Stanley (2003) yang kemudian ditulisnya dalam sebuah buku berjudul; "The Millionaire Mind" menjelaskan hal yang sama, bahwa mereka yang berhasil menjadi millioner di dunia ini adalah mereka dengan prestasi akademik biasa-biasa saja (rata-rata S1), namun mereka adalah pekerja keras, ulet, penuh dedikasi, dan bertanggung jawab, termasuk tanggung jawab yang sangat besar terhadap keluarganya. Adversity Quotient itu sendiri mempunyai tiga bentuk, yakni; (1) suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan; (2) suatu ukuran untuk mengetahui respons terhadap kesulitan; dan (3) serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respons terhadap kesulitan.
Ketika menghadapi kesulitan hidup, manusia dibagi ke dalam tiga kelompok, yakni; Quitters atau manusia yang berhenti, Campers atau manusia yang berkemah, dan Climbers atau manusia yang pendaki. Manusia quitter adalah manusia yang sulit dan tidak senang melakukan perubahan, sering orang menyebutnya sebagai manusia pengecut. Manusia camper adalah manusia yang mau melakukan perubahan, tetapi jika menghadapi satu kesulitan saja dengan sangat mudah patah semangat dan berhenti layaknya orang yang sedang berkemah, bahkan mereka menikmati jeda waktu istirahat tersebut untuk bersuka-ria, bersantai dan tidak berupaya untuk mengatasi kesulitan yang sedang mereka hadapi. Manusia climber adalah manusia pendaki yang tidak mudah lekang karena panas dan tidak mudah lapuk karena hujan. Sebagai manusia pendaki jika ia menemukan ada hambatan batu di atas gunung sana, ia mencari jalan lain. Baginya untuk sampai ke puncak gunung tidak hanya ada satu jalan. Hal ini mengingatkan kita pada apa yang pernah dikatakan oleh Alexander Graham Bell bahwa; "kalau satu pintu tertutup, lainnya terbuka, tetapi kita sering memandang terlalu lama dan terlalu penuh penyesalan kepada pintu yang tertutup itu, sehingga kita tidak melihat pintu yang terbuka bagi kita".
John Gray (2001) mengatakan "semua kesulitan sesungguhnya merupakan kesempatan bagi jiwa kita untuk tumbuh". Adapun dimensi yang terkait dengan kecerdasan menghadapi kesulitan adalah: (1) control atau kendali mempertanyakan berapa banyak kendali yang anda rasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan?; (2) origin dan ownership mempertanyakan dua hal, yakni: siapa atau apa yang menjadi asal usul kesulitan, dan sampai sejauhmanakah seseorang mengakui akibat kesulitan itu?; (3) reach atau jangkauan mempertanyakan sejauhmana kesulitan akan menjangkau atau merembes ke bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang?; (4) endurance atau daya tahan mempertanyakan dua hal, yakni; berapa lamakah kesulitan berlangsung dan lamanya penyebab kesulitan tersebut akan bertahan?
Kecerdasan menghadapi kesulitan tersebut dapat ditingkatkan atau dapat diperbaiki dengan melakukan hal-hal sebagai berikut; (1) listen atau dengarkanlah respons terhadap kesulitan ; (2) explore atau jajaki asal usul dan pengakuan atas akibatnya; (3) analysis bukti-buktinya; dan (4) do atau lakukan sesuatu. Magnesen (2000) mengatakan bahwa; "90% pemahaman belajar diperoleh dari melakukan sesuatu. Konfusius lebih dari 2400 tahun silam menyatakan, bahwa; "yang saya dengar saya lupa, yang saya lihat sangat ingat, dan yang saya kerjakan saya paham." Namun sayangnya praktek pendidikan dan pembelajaran baik yang dilakukan oleh orang tua, guru dan masyarakat belum sampai pada proses pembelajaran yang mengajarkan kepada anak dan siswanya bagaimana menghadapi kesulitan (adversity quotient).
C. KESIMPULAN
Kecerdasan sebagai kemampuan untuk memproses informasi sehingga masalah-masalah yang kita hadapi dapat dipecahkan (problem solved) dan dengan demikian pengetahuan pun bertambah. Jadi mudah dipahami bahwa kecerdasan adalah pemandu bagi kita untuk mencapai sasaran-sasaran kita secara efektif dan efisien. Kecerdasan merupakan suatu kemampuan untuk memahami informasi yang membentuk pengetahuan dan kesadaran. Tingkat kecerdasan (Intelegensi) ditentukan oleh bakat bawaan berdasarkan gen yang diturunkan dari orang tuanya. Secara umum intelegensi dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Kemampuan untuk berpikir abstrak. 2. Kemampuan untuk menangkap hubungan-hubungan dan untuk belajar 3. Kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap situasi-situasi baru. Ciri-ciri keberbakatan seseorang adalah, kemampuan di atas rata-rata, kreativitas, pengikatan diri. Anak berbakat adalah mereka yang karena memiliki kemampuan yang unggul dan mampu memberikan prestasi yang tinggi. Bakat-bakat tersebut baik sebagai potensi maupun yang sudah terwujud meliputi :kemampuan intelektual umum, kemampuan berpikir kreatif-produktif, kemampuan dalam salah satu bidang seni, kemampuan psikomotor, kemampuan psikososial. Mengembangkan kecerdasan majemuk anak merupakan kunci utama untuk kesuksesan masa depan anak. Peran orang tua dalam memberikan latihan-latihan dan lingkungan yang mendukung jauh lebih penting dalam menentukan perkembangan kecerdasan seorang anak.
Kecerdasan Spiritual (SQ) Adalah kemampuan untuk memahami makna (meaning) dan nilai (value) tertinggi kehidupan serta tujuan (vision) fundamental kehidupan. SQ menjawab ertanyaan paling mendasar : ”siapa saya?”, ”untuk apa saya dilahirkan?”, dan ”mau kemana saya?”.
SQ memiliki kemampuan untuk mengatur diri (self organizing) dan memberikan kemampuan bawaan untuk membedakan antara yang benar dan yang salah. SQ adalah perekat yang menghubungkan semua manusia secara universal.
Kecerdasan Emosi (EQ) : Adalah kemampuan untuk memahami dan ikut merasakan apa yang dialami diri sendiri, orang lain dan kemampuan untuk membaca emosi orang lain atau situasi sosial tempat kita berada dan menanggapinya dengan tepat. Singkatnya EQ adalah kemampuan kita merasa, disamping ketahanan mental.
Kecerdasan Intelektual (IQ) : Adalah kemampuan numerikal (berhitung), spasial (ruang), dan linguistic (bahasa).
Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ) : Adalah cara kita menggunakan makna, nilai, tujuan, dan motivasi spiritual dalam proses berpikir kita (IQ) dan proses merasa kita (EQ) dalam membuat keputusan serta dalam berpikir atau melakukan sesuatu.
Kecerdasan Adversity (AQ) adalah kecerdasan untuk mengatasi kesulitan. AQ mempunyai tiga bentuk. Pertama, AQ adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, AQ adalah suatu ukuran untuk mengetahui respons terhadap kesulitan, dan yang ketiga, AQ adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respons terhadap kesulitan.
D. CONTOH KASUS
Contoh Pertama
Kejadian ini terjadi di Airport Soekarno Hatta, pada saat itu pesawat terakhir akan berangkat dengan jalur penerbangan ke Luar Negeri, namun tiba-tiba diumumkan bahwa pesawat ditunda keberangkatannya karena ada kerusakan mesin. Semua penumpang mengeluh dengan nafas panjang, Arghh…… hanya itu yang bisa mereka lakukan dan mereka tunggu 1 jam, tiba-tiba petugas di Airport mengatakan lagi bahwa pesawat yang akan mereka tumpangi bukan saja ditunda keberangkatannya tetapi gagal berangkat malam ini dan akan berangkat esok pagi. Diantara penumpang tersebut banyak Pejabat, banyak Bisnisman, dimana besok adalah pertemuan penting yang justru tidak bisa ditunda-tunda.
Banyak sekali yang marah dan salah seorang dari Pejabat marah, ia katakan "Anda tahu siapa saya… anda tahu.. pimpinan andapun bias saya geser dari perusahaan ini, kerugian yang akan saya alamin ini akan merugikan ratusan milyar rupiah dan perusahaan anda akan kami tuntut. Lalu ia menunjukkan Kontrak kerjanya, MOU dan macam-macam surat pentingnya, ia sangat marah sekali. Tentu saja petugas airport ini mengalami Stress yang sangat luar biasa sekali, ia ketakutan, badanya gemetar. Akhirnya mau tidak mau para penumpang tadi di inapkan di Transit Hotel sebelah bandara Soekarno Hatta.
Namun ada satu orang yang berusia setengah baya, ia datang degnan tersenyum, sungguh luar biasa. Petugas Airport tersebut bingung "loh.. kog bapak tersenyum dan mengatakan ini luar biasa sekali sedang yang lain marah-marah" orang setengah baya ini menjawab dengan tersenyum "Bayangkan jika pesawat ini tetap diberangkatkan, berapa korban jiwa yang akan terjadi, karena bisa saja pesawat ini akan mengalami kerusakan mesin di atas udara" atau pesawat ini akan jatuh seperti yang terjadi baru-baru ini di Medan" saya kira ini adalah hal yang wajar dan baisa. "Bapak tidak marah ?" petugas airport itu bertanya "Saya sebenarnya ingin marah, tapi untuk apa saya marah, ini memang suatu kenyataan dan saya juga punya urusan bisnis yang sangat besar, dan mengalami kerugian yang cukup besar bila ditunda, tapi mau dibilang apa, saya harus ikhlas, karena ini sudah kenyataan yang dialami. Petugas airport itu hanya diam tertunduk, ia heran melihat orang yang sangat bijaksana. Orang setengah baya ini kemudian berkata "Saya tahu disitu banyak pesawat, saya tahu di hotel itu banyak orang yang marah karena berfikiran mengapa banyak pesawat yang nangkring, mengapa pesawat itu tidak segera diberangkatkan". Tapi saya tahu ini adalah keputusan-Nya dan ini adalah kenyataan, ya sudah saya inkhlas kita berdoa saja semoga Bisnis saya bisa berhasil dan besok pagi pesawat itu sudah baik dan bisa berangkat. Selamat malam…
Sebelum berangkat menuju hotel orang setengah baya itu dipanggil oleh petugas Airport "Mari kesini sebentar pak" orang setengah baya itu belakangan berangkat menuju hotel tempat menginap.
"Kenapa ?"
Sebenarnya masih ada informasi yang sangat penting, ada satu sheet kosong ke negara yang sama, hanya akan terlambat beberapa jam karena harus memutar lebih kurang 200 - 300 mil dan akan tiba tengah malam nanti, kalau bapak mau silahkan bapak masuk ke ruang tunggu disebelah sana.
Akhirnya Orang setengah baya itu pergi dan kemudian ia berangkat ke negara tujuannya dan bisnisnya berjalan dengan lancar sedangkan Pejabat yang marah-marah tadi setiap ada pelayan yang mengantarkan makanan kepadanya dimarahi dan diceramahi.
Mari kita lihat Hikmah apa yang bisa diambil dari kisah ini. Ini semua menunjukkan bahwa semua Kemampuan Mengendalikan Emosi membuat bisnis jauh lebih sukses. Kembali permasalah ini bukan lagi soal Kecerdasan Intelektual (IQ) tapi Kecerdasan Emosional (EQ).
Jadi Kecerdasan Emosional (EQ) adalah kemampuan untuk mengendalikan emosi, kemampuan untuk menguasai diri agar ia tetap bisa mengambil keputusan dengan tenang.
Contoh kedua
Mungkin kita masih ingat dulu, sekitar 20 tahun yang lalu ketika kita naik kereta api jurusan Jakarta - Surabaya atau mungkin Jakarta - Bandung. Kalau kita haus saat itu kita bingung sekali dimana kita akan minum, pasti kita akan melihat di stasiun kereta api atau di dalam gerbong kereta api orang-orang yang mengangkat minuman kemudian mengatakan "Teh-teh… Kopi-kopi.." semua orang menjual teh dan kopi, sehingga kalau kita ingin meminum air putih tentu akan merasakan kesulitan karena tak ada orang yang menjual air putih saja, karena air putih saat itu gratis tapi dengan catatan harus minum di warung dan diwarung tentu saja harus makan terlebih dahulu, baik makan nasi atau makan gorengan lainya baru diberikan air minum gratis di dalam teko. Dan itu terjadi Bertahun-tahun di Indonesia mungkin di Negara-negara luar saat itu.
Disaat itu ada seorang yang mampu merasakan perasaan kesulitan tersebut, ia mampu melihat kesulitan itu, betapa sulitnya jika orang dalam perjalanan dalam keadaan haus. Kemudian ia masukkan air putih itu kedalam sebuah botol dan kemudian air minum dalam botol itu dijual. Anda tahu harganya..? harganya lebih mahal dari pada harga bensin saat itu.
Kita tentu tahu saat ini, bukan lagi puluhan, ratusan bahkan kini Ribuan perusahaan yang menjual air mineral dalam bentuk botol ini.
Kesimpulannya " Inilah yang disebut Kreatifitas, keberanian mengambil Resiko, ini menyangkut tentang Komitmen, Tanggung jawab, Visi, Kemampuan merasakan, Kemampuan membaca situasi, inisiatif, Sensitif, Merasakan & Melihat dengan mata hati.
Bagaimana semua ini bisa diatasi, ini adalah kembali contoh KECERDASAN EMOSIONAL (EQ). Kecerdasan Emosional menunjukkan bukti bahwa ia begitu berperan penting didalam keberhasilan kehidupan.
Yang menjadi pertanyaan kita sekarang "bagaimana dengan Sistem Pendidikan kita di Indonesia sekarang…? Kecerdasan Emosional.. apakah diajarkan di SD, SMP, SMA atau bahkan di Bangku kuliah, yang diajarkan umumnya adalah hanya Intelektualitas. IQ nya harus 100 dengan IP 4.00.
Sekarang mari kita lihat kenyataanya, masih ingatkah kita dengan teman-teman yang menjadi bintang-bintang kelas waktu di SMP, SMA atau di Kuliah dulu, apakah mereka menjadi orang-orang yang sukses diatas rata-rata ? atau bahkan mereka kini menjadi orang yang biasa ? atau bahkan banyak yang gagal.
Hal ini diselidiki disebuah lembaga, yang mendirikan data Bank raksasa yang diberi nama Emotion Quotient Inventory (EQI ) yaitu sebuah lembaga yang mengumpulkan data-data orang-orang yang sukses dimuka Bumi. Hasilnya sungguh tak terbantahkan dan tidak bisa lagi dipungkiri, dikatakan bahwa Kecerdasan Intelektual (IQ) itu rata-rata hanya 6 % yang membawa keberhasilan bahkan Maksimum hanya 20 %.
Kecerdasan Intelektual
Hanya berperan 6 %
Dan Maksimal 20 %
Dalam meraih keberhasilan
Lantas bagaimana dengan kemampuan Intelektual dan Emosional kita sementara ini, mana yang lebih kita tekankan pada anak-anak kita. Anak-anak kita yang selama ini kita dorong supaya mendapatkan rangking yang tinggi, IP yang tinggi, selama ini anak-anak kita dorong agar memiliki Intelektualitas (IQ) tinggi namun mari kita lihat ternyata keberhasilan itu tidak ditentukan hanya oleh Intelektualitas (IQ) semata.
Contoh ketiga
Seorang mahasiswa (A) tahap akhir yang berkonsultasi dengan pembimbingnya, kesal, pasalnya, pekerjaannya dirobek oleh dosen, dan kelanjutan dari hal itu, mahasiswa tadi mengambil keputusan untuk tidak menyelesaikan kuliahnya sekalipun ia sudah berada pada tahap akhir perkuliahan. Peristiwa ini tentu saja tidak membawa kebahagiaan dan tidak memenuhi harapan murid dan juga pihak-pihak lain. Mahasiswa yang lain lagi (B) tidak lulus dalam suatu mata kuliah sekalipun semua kriteria kelulusan yang ditawarkan oleh dosen sudah dipenuhi, kecuali kriteria suka dan tidak suka yang belum dipenuhi. Namun kemudian dengan tekun mengulangi pada semester berikutnya, dan hasilnya sangat memuaskan, luar biasa, dia lulus dengan nilai A. Hal ini membawa sukacita bagi diri sendiri dan juga bagi orang lain. Peristiwa di atas hanya fiktif belaka, namun dalam kehidupan sehari-hari khususnya kaum muda sering kita jumpai peristiwa tersebut.
Dari kedua peristiwa fiktif di atas, muncul pertanyaan mengapa mahasiswa A langsung mengambil keputusan untuk segera berhenti kuliah, sementara si B yang juga telah berusaha dengan penuh tanggung jawab memenuhi seluruh kriteria yang minta, namun tetap gagal, dan mau mengikuti kuliah pada semester berikutnya?
Jawaban singkat yang dapat diberikan adalah karena mahasiswa A mempunyai kecerdasan ketahanmalangan (AQ) lebih dangkal dibandingkan dengan mahasiswa B.
E. SOAL-SOAL
I. Pilihlah jawaban yang paling benar!
1. Berikut adalah sikap yang harus dimiliki wirausaha, kecuali:
a. Percaya Diri c. Berorientasi pada tugas dan hasil
b. Kepemimpinan d.Pemalu*
2. Disebut apakah suatu aksi-reaksi organisme terhadap lingkungannya. Perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan?
a.Perilaku* c. Sifat
b.Karakter d.Kepribadian
3. kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya adalah
a.IQ b.SQ* c.EQ d.AQ
4. himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan
a.IQ b.SQ c.EQ* d.AQ
5. kecerdasan adversity pertama kali digagas oleh....
a.Paulz G Stoltz c.Crishtoper Columbus
b.Matt Mc Gee d.Zimmerer
II. Soal Benar atau Salah
1. | B - S | IQ di temui pada tahun 1905 oleh Binet di Paris. |
2. | B - S | Kecerdasan linguistik disebut juga body smart. |
3. | B - S | Faktor Bawaan Atau Keturunan dapat mempengaruhi SQ. |
4. | B - S | kecerdasan Emosi dapat memperkirakan siapa yang putus asa dalam menghadapi kesulitan dan siapa yang akan bertahan. |
5. | B - S | Kecerdasan adversity terdiri atas empat komponen yang tercakup dalam akronim CO2RE.. |
III. Jodohkanlah pernyataan di kolom sebelah kiri dengan kolom sebelah kanan!
1. Manusia climber. | a. manusia pendaki yang tidak mudah lekang karena panas dan tidak mudah lapuk karena hujan. |
2. Manusia camper. | b. manusia yang sulit dan tidak senang melakukan perubahan, sering orang menyebutnya sebagai manusia pengecut. |
3. Kecerdasan Spiritual (SQ). | c. kemampuan numerikal (berhitung), spasial (ruang), dan linguistic (bahasa). |
4. Kecerdasan Intelektual (IQ) | d. kemampuan untuk memahami makna (meaning) dan nilai (value) tertinggi kehidupan serta tujuan (vision) fundamental kehidupan. |
5. Manusia quitter. | e. manusia yang mau melakukan perubahan, tetapi jika menghadapi satu kesulitan saja dengan sangat mudah patah semangat dan berhenti layaknya orang yang sedang berkemah, |
IV. Jawablah pertanyaan-pertanyaan dibawah ini!
1. Apa yang di maksud dengan kecerdasan intelektual?
2. Apa yang dimaksud dengan kecerdasan Emosional?
3. Apa yang dimaksud dengan kecerdasan Adversity?
4. Apa yang dimaksud dengan kecerdasan Spiritual?
5. Apa yang dimaksud dengan kecerdasan?
V. Uraian.
1. Apa yang anda ketahui tentang:
a. Tiga bentuk kecerdasan adversity.
b. Hal-hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kecerdasan adversity.
2. Jelaskan mengenai:
a.dimensi yang terkait dengan kecerdasan adversity menurut john gray.
b.empat komponen kecerdasan adversity
3. Goleman mengutip Salovey (2002:58-59) menempatkan menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemapuan tersebut menjadi lima kemampuan utama
a.sebutkan lima kemapuan tersebut
b.apa perbedaan mengenali emosi dan mengelola emosi?
4. a.Sebutkan 4 tanda SQ yang berkembang dengan baik!
b.bagaimana melatih kecerdasan spiritual?
5. a.jelaskan 2 perilaku berdasarkan bentuk respons terhadap stimulus?
b.bagaiman proses terjadinya perilaku menurut rogers?
KUNCI JAWABAN
Soal pilihan ganda 1. d 2. a 3. b 4. c 5. a | Soal Benar – Salah 1. B 2. S 3. S 4. S 5. B | Soal Menjodohkan 1. A 2. E 3. D 4. C 5. B |
Soal Essay
1. kemampuan numerikal (berhitung), spasial (ruang), dan linguistic (bahasa).
2. Kecerdasan Emosional (EQ) adalah kemampuan untuk mengendalikan emosi, kemampuan untuk menguasai diri agar ia tetap bisa mengambil keputusan dengan tenang.
3. Kecerdasan Adversity (AQ) adalah kecerdasan untuk mengatasi kesulitan.
4. kemampuan untuk memahami makna (meaning) dan nilai (value) tertinggi kehidupan serta tujuan (vision) fundamental kehidupan.
5. kecerdasan adalah pemandu bagi kita untuk mencapai sasaran-sasaran kita secara efektif dan efisien.
Soal Uraian
1.(a)Pertama, AQ adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, AQ adalah suatu ukuran untuk mengetahui respons terhadap kesulitan, dan yang ketiga, AQ adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respons terhadap kesulitan.
(b). 1) listen atau dengarkanlah respons terhadap kesulitan ; (2) explore atau jajaki asal usul dan pengakuan atas akibatnya; (3) analysis bukti-buktinya; dan (4) do atau lakukan sesuatu.
2.(a). dimensi yang terkait dengan kecerdasan menghadapi kesulitan adalah: (1) control atau kendali mempertanyakan berapa banyak kendali yang anda rasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan?; (2) origin dan ownership mempertanyakan dua hal, yakni: siapa atau apa yang menjadi asal usul kesulitan, dan sampai sejauhmanakah seseorang mengakui akibat kesulitan itu?; (3) reach atau jangkauan mempertanyakan sejauhmana kesulitan akan menjangkau atau merembes ke bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang?; (4) endurance atau daya tahan mempertanyakan dua hal, yakni; berapa lamakah kesulitan berlangsung dan lamanya penyebab kesulitan tersebut akan bertahan?
(b). Kecerdasan adversity terdiri atas empat komponen yang tercakup dalam akronim CO2RE. Komponen-komponen CO2RE ini akan menentukan kecerdasan adversity individu secara menyeluruh (Stoltz, 2005).
3.(a). Mengenali Emosi Diri, mengelola emosi, mengenali emosi orang lain, memotivasi diri sendiri, membina hubungan.
(b). Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Sedangkan Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi.
4.(a). Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif), Tingkat kesadaran diri yang tinggi, Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan, Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit .
(b) Management of anger, Random act kindness, Kesabaran dan kemampuan menemukan misi hidup,.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Alma, B. (2005). Kewirausahaan untuk mahasiswa dan umum. Bandung: CV Alfabeta.
Stoulz, P. (2000). Adversity Quotient Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia
________. (2009). Kecerdasan Adversity. [Online]. Tersedia: http://wangmuba.com /2009/03/07/kecerdasan-adversity/. [8 Agustus 2009]
_______. (2009). Perkembangan Konsep Kecerdasan atau Intelegensi. [Online]. Tersedia: http://massofa.wordpress.com/2008/10/09/perkembangan-konsep-kecerdasan-atau-inteligensi/
_______. (2009). Kecerdasan. [Online]. Tersedia: lelakibiasa.multiply.com/journal /item/74. [8 Agustus 2009].
________. (2009). Kecerdasan Adversity. [Online]. Tersedia: http://www.pusakahati.com /index.php?option=com_content&view= article&id =27:the-joomla-community&catid=34:artikel&Itemid=53. [8 Agustus 2009]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar